Isu pemberantasan terorisme muncul sejak tahun 2001, pasca serangan menara kembar WTC di Amerika Serikat (AS). Isu ini kemudian dijadikan kebijakan politik luar negeri AS dan sekutunya dan berupaya meraih dukungan negara-negara di dunia. Melalui Presidennya, George Walker Bush, dikenal istilah ungkapan politik “stick and carrot”. Dimana setiap negara yang mengikuti agendanya akan diberikan dukungan (dana), sebaliknya bagi yang menolaknya akan diperangi. Negara-negara di dunia dihadapkan untuk memilih salah satu dari dua opsi yang ditawarkan , “You either with us, or with them, against us (Kamu bersama kami, atau bersama mereka, sebagai musuh kami).” Kebijakan politik ini pun kemudian disambut secara luas oleh negara-negara di dunia, termasuk indonesia.
Pasca terjadinya bom Bali pada 12 Oktober 2002, Indonesia mulai menanggapi secara serius isu terorisme, dimana pada saat itu pemerintah kemudian mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 dalam rangka menanggulangi tindakan terorisme. Pada saat itu, Menkopolkam (Susilo Bambang Yudoyono) diamanatkan untuk membuat kebijakan dan strategi nasional penanganan terorisme. Berdasarkan Keputusan Menkopolkam No.Kep-26/Menko/Polkam/11/2002,dibentuklah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Lembaga ini berada di bawah Menkopolkam menjalankan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya organisasi BNPT untuk membantu Menkopolkam merumuskan kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme, yang meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan.
Selanjutnya, pada 16 Juli 2010 diterbitkan
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. BNPT dibentuk dan diberikan tugas untuk menyusun kebijakan strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Untuk melaksanakan tugas penanggulangan terorisme tersebut, BNPT antara lain melakukan fungsi-fungsi koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal, pelaksanaan deradikalisasi, perlindungan terhadap objek-objek yang potensial menjadi target serangan teroris, pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapan nasional, serta melakukan kerjasama internasional di bidang penanggulangan terorisme.
Semenjak dibentuknya lembaga yang ditugaskan untuk memberantas tindak pidana teroris ini, sudah banyak hal yang dilakukan untuk mencegah dan memberantas terorisme. Dari sisi penindakan, BNPT telah berhasil membongkar banyak kasus-kasus besar terorisme yang menjadi perhatian dunia. Namun, kenyataan hinga saat ini aksi-aksi terorisme di bumi Indonesia tak pernah bisa padam. Aksi-aksi teror justru makin merebak dan berkembang biak.
Kejadian teror akhir-akhir ini yang terjadi hampir serentak di Solo, Jakarta dan Depok menunjukkan bahwa sel-sel teroris baru terus bermunculan. Bak penyakit menahun, makin banyak obat makin pintar penyakit bermutasi. Kian diburu, para teroris bertambah sigap dan sel-sel baru kian banyak. Rantai terorisme menjadi semakin panjang. Aksi teror dan kekerasan tampaknya tak menunjukkan surut kasus, sehingga cukup memeras pikiran para petinggi keamanan negeri ini.
Mengapa aksi teror dan kekerasan di negeri ini tak pernah surut? Untuk itu perlu kajian yang mendalam mengapa teror dan kekerasan begitu sering terjadi dan dicari "akar masalah" atau"Roots cause analysis" dari setiap peristiwa/kejadian di negeri ini. Apakah disebabkan kekecewaan, rasa tidak puas, atau hal-hal lain karena menjalankan doktrin-doktrin tertentu dari suatu organisasi nasional atau internasional.
Belum Berfungsi
Menurut, Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR rangkaian teror bom yang masih marak terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga dan alat-alat keamanan negara belum berfungsi dengan baik. Teror bom yang terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Depok, menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keamanan dan alat-alat keamanan negara seolah bekerja sendiri-sendiri tanpa terkoordinasi dengan baik. “Lembaga dan aktor keamanan dalam menangani masalah teror di negeri kita sudah banyak. Ada polisi, Densus 88, BIN (Badan Intelijen Negara) hingga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Tapi karena tak adanya koordinasi yang baik, lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi maksimal”.
Mestinya semua pihak jangan terlalu cepat puas dengan data ataupun penangkapan-penangkapan karena secara faktual aktivitas jejaring teroris berideologi agama masih ada dan tumbuh di Indonesia. Bahkan mereka sudah bisa merekrut orang-orang baru yang suatu ketika tanpa diduga bisa mengancam keselamatan banyak orang.
Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, permasalahan terorisme harus dilihat dari akar masalahnya. Dia berpandangan, sebenarnya akar terorisme bukan faktor militansi terhadap ajaran atau keyakinan tertentu,tapi lebih didorong faktor kesenjangan. “Hal inilah yang pada akhirnya membuat gerakan dan aksi radikalisme mudah sekali berkembang di negara kita. Jadi bila ingin mencari solusi dari banyaknya aksi radikalisme dan terorisme, jangan dilihat secara parsial.”
Dengan pemahaman ini, semua pihak diharapkan tidak menyerahkan se-penuhnya tanggung jawab penanganan pemberantasan terorisme hanya kepada Polri dan TNI saja.
Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy berpendapat, teror dan ledakan bom yang terjadi di berbagai daerah harus disikapi dengan bijak dan sebisa mungkin tidak membuat masyarakat panik. Karena itu, pemerintah pusat maupun daerah, pemuka agama, dan tokoh masyarakat harus hadir di tengah-tengah masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan deteksi dini. Sebagai bentuk penanggulangan dan pencegahan, gerakan deradikalisasi harus terus diintensifkan, yakni dengan peningkatan pemahaman agama dan kemanusiaan.
Ketua Umum Pemuda Muhammadyah, Saleh Daulay, menilai program deradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum berjalan efektif untuk memberantas aksi terorisme di tanah air. Pasalnya, hingga saat ini pun benih-benih baru teroris tetap muncul. "Program re-edukasi BNPT belum maksimal. Buktinya ada juga yang keluar penjara masih melakukan aksi teror. Deradikalisasi oleh BNPT belum menyentuh. Buktinya ajaran radikal justru lebih efektif sehingga muncul jaringan baru, dibanding pendidikan untuk mengurangi radikalisme yang negatif," terangnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengakui bahwa program deradikalisasi yang telah dilaksanakan belum berhasil meredam pikiran atau tindakan radikal di masyarakat, sehingga kelompok teroris masih eksis dan mengancam di tengah masyarakat.
Fakta bahwa masih ada kelompok-kelompok yang meyakini bahwa teror yang dilakukan adalah merupakan suatu kebenaran dalam melakukan perjuangan terhadap nilai-nilai yang diyakininya, adalah membuktikan bahwa deradikalisasi yang dilakukan belum mampu menjangkau kesemua pihak yang terkait yang berpotensi menjadi aktor-aktor teroris di kemudian hari.
Deradikalisasi adalah suatu upaya menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan para simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspos dengan paham-paham tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik, yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan, berpikir asasi, dan bertindak ekstrim. Sedangkan deradikalisasi berasal dari kata radikal lalu ditambah awalan ”de” di depan katanya yang berarti mengurangi atau mereduksi, dan kata ”asasi”, di belakang kata radikal berarti proses, cara atau perbuatan. Jadi deradikalisasi bisa diartikan sebagai upaya untuk mereduksi kegiatan-kegiatan yang berbau radikal atau penuh dengan tindak kekerasan.
Aksi-aksi terorisme yang terjadi akhir-akhir ini menarik perhatian khusus Presiden akan hal ini. Dalam Pidatonya pada peringatan HUT ke-67 Proklamasi RI di depan sidang bersama DPR dan DPD tanggal 16 Agustus 2012, Presiden menyerukan kepada semua masyarakat Indonesia agar terus meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi masalah terorisme. Presiden mengajak agar pemerintah bersama dengan masyarakat, bahu membahu mencegah terjadinya tindak terorisme, yang berdampak buruk bagi stabilitas di dalam negeri dan jatuhnya korban tidak berdosa, serta memperburuk citra Indonesia di mata dunia.
Saat ini, Pemerintah sedang menyiapkan program deradikalisasi nasional menghadapi terorisme. Program ini menurut Wapres Boediono sudah dirancang sejak beberapa waktu lalu. Program deradikalisasi bukan hanya tugas penegak hukum saja, tetapi juga kementerian terkait. Perumusan program deradikalisasi terorisme tersebut diharapkan mampu menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek pendidikan.
Menurut Wapres, Indonesia memang memerlukan program yang utuh untuk mengatasi radikalisasi. Apa yang dilakukan masing-masing instansi sejauh ini terasa tidak cukup karena belum ada rencana aksi bersama yang terkoordinasi dengan sasaran bersama yang jelas. Agar efektif, program deradikalisasi harus menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dan bukan hanya BNPT saja yang bekerja. Program deradikalisasi harus lebih luas, melibatkan seluruh kementerian dan lembaga yang relevan. Program deradikalisasi nasional tersebut bisa memanfaatkan program kementerian dan lembaga tersebut untuk diisi dengan materi yang mengubah mindset orang agar tidak mudah melakukan tindakan kekerasan karena faham radikal.
Hal yang paling penting adalah kita semua harus menyadari bahwa terorisme adalah musuh kita bersama dan harus dilawan bersama karena menyengsarakan rakyat. Oleh sebab itu dibutuhkan peran aktif semua komponen dalam masyarakat untuk bahu-membahu dalam mencegah dan memberantas teroris agar masyarakat di bumi Indonesia yang tercinta ini dapat hidup aman, damai dan tenteram. (Deputi Bidang Polhukam, Setkab)
OPINI :
Walaupun deradikalisasi Sebagai Upaya Mencegah Aksi-Aksi Terorisme tetapi fakta teroris masih berkembang di indonesia. Arti dari Deradikalisasi adalah upaya menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan para simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal, melalui reedukasi dan resosialisasi serta menanamkan multikuralisme. tetapi bktinya blom efektif untuk mengatasi itu semua. Padahal lembaga lembaga sudah ada banyak seperti : polisi, Densus 88, BIN (Badan Intelijen Negara) hingga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tetapi belum bisa berfungsi sepenuhnya.