Selasa, 30 Oktober 2012

Deradikalisasi Sebagai Upaya Mencegah Aksi-Aksi Terorisme


Isu pemberantasan terorisme muncul sejak tahun 2001, pasca serangan menara kembar WTC di Amerika Serikat (AS). Isu ini kemudian dijadikan kebijakan politik luar negeri AS dan sekutunya dan berupaya meraih dukungan negara-negara di dunia. Melalui Presidennya, George Walker Bush, dikenal istilah ungkapan politik “stick and carrot”. Dimana setiap negara yang mengikuti agendanya akan diberikan dukungan (dana), sebaliknya bagi yang menolaknya akan diperangi. Negara-negara di dunia dihadapkan untuk memilih salah satu dari dua opsi yang ditawarkan , “You either with us, or with them, against us (Kamu bersama kami, atau bersama mereka, sebagai musuh kami).” Kebijakan politik ini pun kemudian disambut secara luas oleh negara-negara di dunia, termasuk indonesia.
Pasca terjadinya bom Bali pada 12 Oktober 2002, Indonesia mulai menanggapi secara serius isu terorisme, dimana pada saat itu pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002 dalam rangka menanggulangi tindakan terorisme. Pada saat itu, Menkopolkam (Susilo Bambang Yudoyono) diamanatkan untuk membuat kebijakan dan strategi nasional penanganan terorisme. Berdasarkan Keputusan Menkopolkam No.Kep-26/Menko/Polkam/11/2002,dibentuklah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Lembaga ini berada di bawah Menkopolkam menjalankan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya organisasi BNPT untuk membantu Menkopolkam merumuskan kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme, yang meliputi aspek penangkalan, pencegahan,  penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan.
Selanjutnya, pada 16 Juli 2010  diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. BNPT dibentuk dan diberikan tugas untuk menyusun kebijakan strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Untuk melaksanakan tugas penanggulangan terorisme tersebut, BNPT antara lain melakukan fungsi-fungsi koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal, pelaksanaan deradikalisasi, perlindungan terhadap objek-objek yang potensial menjadi target serangan teroris, pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapan nasional, serta melakukan kerjasama internasional di bidang penanggulangan terorisme.
Semenjak dibentuknya lembaga yang ditugaskan untuk memberantas tindak pidana teroris ini, sudah banyak hal yang dilakukan untuk mencegah dan memberantas terorisme. Dari sisi penindakan, BNPT telah berhasil membongkar banyak kasus-kasus besar terorisme yang menjadi perhatian dunia. Namun, kenyataan hinga saat ini aksi-aksi terorisme di bumi Indonesia tak pernah bisa padam. Aksi-aksi teror justru makin merebak dan berkembang biak.
Kejadian teror akhir-akhir ini yang terjadi hampir serentak di Solo, Jakarta dan Depok menunjukkan bahwa sel-sel teroris baru terus bermunculan. Bak penyakit menahun, makin banyak obat makin pintar penyakit bermutasi. Kian diburu, para teroris bertambah sigap dan sel-sel baru kian banyak. Rantai terorisme menjadi semakin panjang. Aksi teror dan kekerasan tampaknya tak menunjukkan surut kasus, sehingga cukup memeras pikiran para petinggi keamanan negeri ini.
Mengapa aksi teror dan kekerasan di negeri ini tak pernah surut? Untuk itu perlu kajian yang mendalam mengapa teror dan kekerasan begitu sering terjadi dan dicari "akar masalah" atau"Roots cause analysis" dari setiap peristiwa/kejadian di negeri ini. Apakah disebabkan kekecewaan, rasa tidak puas, atau hal-hal lain karena menjalankan doktrin-doktrin tertentu dari suatu organisasi nasional atau internasional.
Belum Berfungsi
Menurut, Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR rangkaian teror bom yang masih marak terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga dan alat-alat keamanan negara belum berfungsi dengan baik. Teror bom yang terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Depok, menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keamanan dan alat-alat keamanan negara seolah bekerja sendiri-sendiri tanpa terkoordinasi dengan baik. “Lembaga dan aktor keamanan dalam menangani masalah teror di negeri kita sudah banyak. Ada polisi, Densus 88, BIN (Badan Intelijen Negara) hingga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Tapi karena tak adanya koordinasi yang baik, lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi maksimal”.
Mestinya semua pihak jangan terlalu cepat puas dengan data ataupun penangkapan-penangkapan karena secara faktual aktivitas jejaring teroris berideologi agama masih ada dan tumbuh di Indonesia. Bahkan mereka sudah bisa merekrut orang-orang baru yang suatu ketika tanpa diduga bisa mengancam keselamatan banyak orang.
Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, permasalahan terorisme harus dilihat dari akar masalahnya. Dia berpandangan, sebenarnya akar terorisme bukan faktor militansi terhadap ajaran atau keyakinan tertentu,tapi lebih didorong faktor kesenjangan. “Hal inilah yang pada akhirnya membuat gerakan dan aksi radikalisme mudah sekali berkembang di negara kita. Jadi bila ingin mencari solusi dari banyaknya aksi radikalisme dan terorisme, jangan dilihat secara parsial.”
Dengan pemahaman ini, semua pihak diharapkan tidak menyerahkan se-penuhnya tanggung jawab penanganan pemberantasan terorisme hanya kepada Polri dan TNI saja.
Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy berpendapat, teror dan ledakan bom yang terjadi di berbagai daerah harus disikapi dengan bijak dan sebisa mungkin tidak membuat masyarakat panik. Karena itu, pemerintah pusat maupun daerah, pemuka agama, dan tokoh masyarakat harus hadir di tengah-tengah masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan deteksi dini. Sebagai bentuk penanggulangan dan pencegahan, gerakan deradikalisasi harus terus diintensifkan, yakni dengan peningkatan pemahaman agama dan kemanusiaan.
Ketua Umum Pemuda Muhammadyah, Saleh Daulay, menilai program deradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum berjalan efektif untuk memberantas aksi terorisme di tanah air.  Pasalnya, hingga saat ini pun benih-benih baru teroris tetap muncul. "Program re-edukasi BNPT belum maksimal. Buktinya ada juga yang keluar penjara masih melakukan aksi teror. Deradikalisasi oleh BNPT belum menyentuh. Buktinya ajaran radikal justru lebih efektif sehingga muncul jaringan baru, dibanding  pendidikan untuk mengurangi radikalisme yang negatif," terangnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengakui bahwa program deradikalisasi yang telah dilaksanakan belum berhasil meredam pikiran atau tindakan radikal di masyarakat, sehingga  kelompok teroris masih eksis dan mengancam di tengah masyarakat.
Fakta bahwa masih ada kelompok-kelompok yang meyakini bahwa teror yang dilakukan adalah merupakan suatu kebenaran dalam melakukan perjuangan terhadap nilai-nilai yang diyakininya, adalah membuktikan bahwa deradikalisasi yang dilakukan belum mampu menjangkau kesemua pihak yang terkait yang berpotensi menjadi aktor-aktor teroris di kemudian hari.
Deradikalisasi adalah suatu upaya menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan para simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspos dengan paham-paham tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik, yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan, berpikir asasi, dan bertindak ekstrim. Sedangkan deradikalisasi berasal dari kata radikal lalu ditambah awalan ”de” di depan katanya yang berarti mengurangi atau mereduksi, dan kata ”asasi”, di belakang kata radikal berarti proses, cara atau perbuatan. Jadi deradikalisasi bisa diartikan sebagai upaya untuk mereduksi kegiatan-kegiatan yang berbau radikal atau penuh dengan tindak kekerasan.
Aksi-aksi terorisme yang terjadi akhir-akhir ini menarik perhatian khusus Presiden akan hal ini. Dalam Pidatonya pada peringatan HUT ke-67 Proklamasi RI di depan sidang bersama DPR dan DPD tanggal 16 Agustus 2012, Presiden menyerukan kepada semua masyarakat Indonesia agar terus meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi masalah terorisme. Presiden mengajak agar pemerintah bersama dengan masyarakat, bahu membahu mencegah terjadinya tindak terorisme, yang berdampak buruk bagi stabilitas di dalam negeri dan jatuhnya korban tidak berdosa, serta memperburuk citra Indonesia di mata dunia.
Saat ini, Pemerintah sedang menyiapkan program deradikalisasi nasional menghadapi terorisme. Program ini menurut Wapres Boediono sudah dirancang sejak beberapa waktu lalu. Program deradikalisasi bukan hanya tugas penegak hukum saja, tetapi juga kementerian terkait. Perumusan program deradikalisasi terorisme tersebut diharapkan mampu menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek pendidikan.
Menurut Wapres, Indonesia memang memerlukan program yang utuh untuk mengatasi radikalisasi. Apa yang dilakukan masing-masing instansi sejauh ini terasa tidak cukup karena belum ada rencana aksi bersama yang terkoordinasi dengan sasaran bersama yang jelas. Agar efektif, program deradikalisasi harus menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dan bukan hanya BNPT saja yang bekerja. Program deradikalisasi harus lebih luas, melibatkan seluruh kementerian dan lembaga yang relevan. Program deradikalisasi nasional tersebut bisa memanfaatkan program kementerian dan lembaga tersebut untuk diisi dengan materi yang mengubah mindset orang agar tidak mudah melakukan tindakan kekerasan karena faham radikal.
Hal yang paling penting adalah kita semua harus menyadari bahwa terorisme adalah musuh kita bersama dan harus dilawan bersama karena menyengsarakan rakyat. Oleh sebab itu dibutuhkan peran aktif semua komponen dalam masyarakat untuk bahu-membahu dalam mencegah dan memberantas teroris agar masyarakat di bumi Indonesia yang tercinta ini dapat hidup aman, damai dan tenteram. (Deputi Bidang Polhukam, Setkab)

OPINI :
Walaupun deradikalisasi Sebagai Upaya Mencegah Aksi-Aksi Terorisme tetapi fakta teroris masih berkembang di indonesia. Arti dari Deradikalisasi adalah upaya menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan para simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal, melalui reedukasi dan resosialisasi serta menanamkan multikuralisme. tetapi bktinya blom efektif untuk mengatasi itu semua. Padahal lembaga lembaga sudah ada  banyak seperti : polisi, Densus 88, BIN (Badan Intelijen Negara) hingga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tetapi belum bisa berfungsi sepenuhnya.


Minggu, 14 Oktober 2012

Masalah Pendidikan di Indonesia



Peran Pendidikan dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***


OPINI : memang sungguh memprihatinkan pendidikan di indonesia ini, masih banyak sekolah-sekolah yang tak layak untuk di jadikan aktivitas beljar mengajar tetapi pemerintah seperti menutup mata yang enggan melihat sekolah-sekolah yang sudah rapuh bahkan sudah ambruk. yang saya bingungkan kemana dana BOS yang di keluarkan pemerintah untuk sekolah-sekolah di indonesia?
lalu tidak hanya itu, pendidikan moral bagi siswa-siswi yang di terapkan di sekolah-sekolah sepertinya kurang efektif  di terapkan, kenyataannya masih banyak siswa yang masih mengikuti tawuran dan banyak siswi hamil diluar nikah.

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidikan%20di%20Indonesia&nomorurut_artikel=364



Senin, 08 Oktober 2012

Pengemis Di Jakarta dan sekitarnya

Pengemis adalah orang-orang yang kerjanya suka minta-minta kepada orang lain guna memenuhi kebutuhannya. Banyak pengemis berkeliaran di indonesia entah yg terorganisir ataupun perorangan khususnya di kota-kota besar. Saya ambil contoh di daerah jakarta dan sekitarnya saja, pasti anda yg tinggal di jakarta sudah tidak aneh lagi jika melihat pengemis di jalanan, bahkan anda bisa berpapasan dengan pengemis lebih dari satu pengemis. Saya sendiri sering sekali melihat pengemis di jalanan khususnya di depok ataupun di bogor. 
Semenjak di keluarkannya Perda DKI Jakarta No.8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum jumlah pengemis di jakarta cenderung menurun tiap tahunnya, tetapi tetap saja tidak bisa memberantas semua pengemis di jakarta, seharusnya Pemprov DKI bertindak lebih tegas dalam menerapkan perda tersebut.
Menurut saya di samping di keluarkanya perda tersebut seharusnya ada penanggulannya atau memberikan lapangan pekerjaan yang efektif untuk si pengemis yang masih sehat agar bisa bekerja dengan layak, bagi pengemis yang sudah tua berikan tempat yang layak seperti dikirim ke panti jompo sedangkan yang masih anak-anak berikan mereka sekolah secara gratis slama 9 tahun, tapi sayangnya tak ada tindakan nyata dari pemerintah.
Negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi mengapa rakyat indonesia masih belum sejahtera malah banyak pengemis di jalanan? sungguh ironis sekali.  












Senin, 01 Oktober 2012

Tawuran Antar Pelajar


Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa indonesia. Sehingga jika masyarakat indonesia mendengar kata tawuran sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Hampir setiap bulan bahkan setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. 
Baru-baru ini berita terhangat tentang tawuran antar pelajar ialah antara SMAN 70 dengan SMAN 6 yang menewaskan siswa dari SMAN 6 "alawy yusianto putra" di tangan salah satu dari SMAN 70 senin(24/9). Dua hari berselang, Rabu (26/9) terjadi lagi tawuran di jakarta antara SMA   
Yayasan Karya 66 Jakarta dengan SMA Kartika Zeni yg juga memakan korban dan menewaskan "Deni Januar" dari  SMA Yayasan Karya 66 Jakarta. Dua orang pelajar ini harus menjadi korban kebrutalan dari sesama pelajar, hanya nama sekolah saja yang membadakan. Korban tewas diserang menggunakan senjata tajam. Tawuran antar pelajar kerap terjadi di kota-besar sperti Jabodetabek, Surabaya, dan medan. Data di jabodetabek misalnya, 17 pelajar tewas  akibat tawuran sejak 1 januari 2012 hingga 26 september "jumlahnya meningkat dari 2011 yg sebesar 12 orang tewas," ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni"am, di jakarta, rabu, 27 September 2012. 
Dari sebagian kalangan pelajar beranggapan tawuran adalah kegiatan rutin yg harus di lakukan. Sungguh memprihatinkan pelajar di indonesia, yang seharusnya siswa menuntut ilmu di sekolah malah menjadi   bibit  kriminalitas di indonesia.
Seharusnya pihak sekolah, kepolisian dan orang tua selangkah lebih cepat untuk menanggulanginya, dan dari  pihak sekolah yang memberikan sanksi tegas jika ada siswa yang terlibat tawuran.

sumber : dari berbagai sumber referensi