1. Konsep “Halus”
Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri atau
cendrung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan
bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri
ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa, yang secara
unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth,
refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara
intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk
pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi
dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain
dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive,
impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang
Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.
Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal
dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama berkonotasi
dari perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena
merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang pertama tapi tanpa
perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu
dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang setara namun belum
dikenalnya dengan baik.
Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami
mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi
karena ia ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana
batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap
keterbukaan (keterusterangan) sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung
pihak lain. Untuk itu seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki
sensitivitas tertentu karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan
suatu hasil yang jauh dari yang dimaksudkan.
2. Menjunjung
Tinggi Ketenangan Sikap
Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan
sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan
pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan
bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini
berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak
tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai
seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan
orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia
akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah
yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan
resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada
ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.
Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap
orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang
memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat
dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang
berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek
loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat
suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol
daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.
Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang
cukup unik dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan
sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang
kekuasaan itu dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati
kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari
mereka yang berada di sekelilingnya. Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber
status yang lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis
membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan,
tidak dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab
dilandasi pamrih.
3. Konsep
Kebersamaan
Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional
tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga
dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral.
Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta
tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam
kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak
yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut
menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung
jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang
lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk
mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia
seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab
itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban
tanggung jawab. Implikasi selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala
diperingatkan (dikritik) agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan
peringatan (kritik) tersebut sebab orang lain atau anggota masyarakat selain
dia dirasakannya tidak dimintai pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut
menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh sifat pengabaian itu sehingga sering
sampai pada titik “tidak ambil pusing”. Pada titik inilah masyarakat Jawa
kelihatan kontradiktif, yakni, pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan
berlaku halus serta bertindak tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering
bersikap “tidak ambil pusing” (tebal muka) terhadap kritik yang langsung
sekalipun serta bersikap “menolak” secara terus terang.
Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di
atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial
merupakan basis dan sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik
masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu
kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak
ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada
kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung
begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-kultural ini memperkental sistem
patron-klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini,
keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam
masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak
orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani
tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, Yahya; 53-58)
sumber : klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar