Rabu, 05 Juni 2013

Upacara Tabuik Sumatera Barat

Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.
Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.


Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.


Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umatIslam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.

sumber : klik disini



Selasa, 04 Juni 2013

Rumah Adat Joglo Jawa Tengah

Bangunan joglo banyak dijumpai pada arsitektur Jawa Tengah. Joglo merupakan rumah kerangka bangunan utama dari rumah tradisional Jawa, yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok yang disangga soko guru.


Pada umumnya, rumah joglo hanya dimiliki oleh orang-orang yang berkemampuan materi lebih. Selain karena rumah joglo membutuhkan bahan material yang banyak dan mahal, pemilik rumah joglo juga merupakan pelambang sosial di masyarakat. Pemilik rumah joglo di masyarakat Jawa pada umumnya adalah dari kalangan bangsawan.


Ruangan pada rumah joglo pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah ruangan pertemuan yang disebut pendhopo. Bagian kedua adalah ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit, disebut pringgitan. Bagian ketiga adalah ruang belakang yang disebut ndalem atau omah jero, dan digunakan sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar), yaitu senthong kiri, senthong tengah, dan senthong kanan.


Pendhopo memiliki fungsi sebagai tempat menerima tamu. Struktur bangunan pada pendhopo menggunakan umpak sebagai alas soko, 4 buah soko guru (tiang utama) sebagai simbol 4 arah mata angin, dan 12 soko pengarak. Ada pula tumpang sari yang merupakan susunan balik yang disangga oleh soko guru.
Umumnya, tumpang sari terdapat pada pendopo bangunan yang disusun bertingkat. Tingkatan-tingkatan ini dapat pula diartikan sebagai tingkatan untuk menuju titik puncak. Menurut kepercayaan Jawa, tingkatan-tingkatan ini akan menyatu pada satu titik.



Ndalem adalah pusat pada rumah joglo. Fungsi utamanya sebagai ruang keluarga. Pada pola tata ruang, ndalem terdapat perbedaan ketinggian lantai, sehingga membagi ruang menjadi 2 area. Pada lantai yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat keluar masuk udara, sedangkan pada bagian yang lebih rendah digunakan sebagai ruang keluarga dan senthong.

Budaya Politik Jawa


 Yahya Muhaimin dalam tulisannya “Persoalan Budaya Politik Indonesia” mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara lain:

1. Konsep “Halus”

Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri atau cendrung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.

Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama berkonotasi dari perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik.

Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan (keterusterangan) sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. Untuk itu seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki sensitivitas tertentu karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil yang jauh dari yang dimaksudkan.

2.            Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap

Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.

Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.

Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada di sekelilingnya. Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan, tidak dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab dilandasi pamrih.

3.            Konsep Kebersamaan

Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban tanggung jawab. Implikasi selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan (dikritik) agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan (kritik) tersebut sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik “tidak ambil pusing”. Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap “tidak ambil pusing” (tebal muka) terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap “menolak” secara terus terang.


Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, Yahya; 53-58)

sumber : klik disini

Selasa, 09 April 2013

Pandangan Mahasiswa terhadap Pancasila

 Pancasila adalah ideologi yang digodok sedemikian rupa oleh pendiri bangsa Indonesia, menjadi falsafah dan ideologi bangsa yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh segenap rakyatnya. Ideologi bangsa Indonesia sangat sesuai dengan kebutuhan dan realitas bangsa Indonesia yang sangat plural dan majemuk. Sebagai dasar negara maka nilai-nilai kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila. Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.

Kesan yang muncul di awal perkuliahan berhadapan dengan perkuliahan Pendidikan Pancasila adalah negatif. Mayoritas mahasiswa menganggap dan memandang mata kuliah Pendidikan Pancasila sekadar menjadi ideologi yang melayani kehendak penguasa. Model pendidikan yang indoktrinatif merupakan salah satu cara yang kerap digunakan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila sehingga cenderung represif. Karena itu, kecurigaan bahwa Pendidikan Pancasila merupakan sebuah upaya manipulasi dalam kerangka tafsir kelompok yang berkuasa. Sehingga menurut mayoritas mahasiswa Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa ini tidak lagi memiliki daya atau kekuatan mempengaruhi sehingga mempelajarinya pun sekedar sebuah tuntutan teknis-akademis. Padahal di samping itu mata kuliah pancasila sangatlah penting untuk di pelajari karena jikalau mahasiswa tidak mempelajarinya mereka tidak akan tau bagaimana cara mereka bersosialisasi dengan baik, bagaiman cara mereka dalam berorganisasi, bagaimana cara mereka menghormati sesama umat beragama. 

Mereka para mahasiswa yang tidak setuju dengan adanya pancasila sebagai dasar negara indonesia sebenarnya mereka kurang mengetahui secara terperinci tentang pancasila. Coba kita bayangkan jika tidak adanya lagi pancasila sebagai dasar negara indonesia, nilai-niali yang terkandung dalam setiap silanya akan hilang, dan di pastikan negara indonesia akan kacau balau. Ada teman yang tidak setuju akan adanya pancasila dan dia berkata "apa pentingnya lagi pancasila sebagai dasar negara jika sekarang sudah banyak orang yang tidak peduli dan tidak mengamalkannya lagi nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila?" ok itu adalah salah satu pendapat teman mahasiswa saya, memang apa yg dia katakan itu benar  banyak orang  yang tidak peduli dan tidak mengamalkan lagi nilai-nilai pancasilai tetapi dia berfikirnya hanya ke satu arah saja, padahal di samping itu masih ada orang yang peduli terhadap pancasila dan masih ada orang yang mengamalkan nilai-nilai pancasila. Sekarang ini peran pemerintah sangatlag penting untuk mensosialisasikannya lagi pancasila terhasap warga negaranya, dan peran para dosenpun sangatlah penting terutama dosen di bidang yang bersangkutan, dosen harus pintar dalam mengajarkan matakuliah pancasila terhadap mahasiswanya agar para mahasiswa mudah mengerti tentang pancasila dan tidak lagi adanya mahasiswa yang tidak setuju terhadap pancasila. 

sumber : KLIK DISINI

Rabu, 03 April 2013

GAMELAN JAWA


Gamelan Jawa adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Musik yang tercipta pada Gamelan Jawa berasal dari paduan bunyi gong, kenong dan alat musik Jawa lainnya. Irama musik umumnya lembut dan mencerminkan keselarasan hidup, sebagaimana prinsip hidup yang dianut pada umumnya oleh masyarakat Jawa.

Gamelan Jawa terdiri atas instrumen berikut:
Kendang
Bonang
Bonang Penerus
Demung
Saron
Peking (Gamelan)
Kenong &Kethuk
Slenthem
Gender
Gong
Gambang
Rebab
Siter
Suling
Kempul
Sejarah Gamelan
KataGamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya sebagai kata benda. Sedangkan istilahgamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan bersama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah terciptanya alat musik ini. Tetapi, gamelan diperkirakan lahir pada saat budaya luar dari Hindu Budha mendominasi Indonesia. Walaupun pada perkembangannya ada perbedaan dengan musik India, tetap ada beberapa ciri yang tidak hilang, salah satunya adalah cara menyanyikan lagunya. Penyanyi pria biasa disebut sebagaiwiraswara dan penyanyi wanita disebutwaranggana.
Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu).
Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah gong, yang digunakan untuk memanggil para dewa. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusus, Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat gamelan.
Pada jaman Majapahit, alat musik gamelan mengalami perkembangan yang sangat baik hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti Bali, dan Sunda (Jawa Barat).
Bukti otentik pertama tentang keberadaangamelan ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah yang berdiri sejak abad ke-8. Padarelief-nya terlihat beberapa peralatan seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen alat musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi pagelaranwayang dantarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara parasinden.
Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan Gamelan Bali yang rancak serta Gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup orang jawa pada umumnya.
Pandangan yang dimaksud adalah : sebagai orang jawa harus selalumemelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak. Oleh sebab itu, orang jawa selalu menghindari ekspresi yang meledak-ledak serta selalu berusaha mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu slndro,plog, Degung (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan madenda (juga dikenal sebagai diatonis), sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Slendro memiliki5 nada per oktaf, yaitu :1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil.
Pelog memiliki7 nada per oktaf, yaitu :1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar.
Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari beberapa putaran danpathet, dibatasi oleh satugongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.
Gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira 72 alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh) dengan disertai 10 15 pesinden dan atau gerong. Susunannya terutama terdiri dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang terbuat dari logam. Alat-alat lainnya berupa kendang, rebab (alat gesek), gambang yaitu sejenis xylophon dengan bilah-bilahnya dari kayu, dan alat berdawai kawat yang dipetik bernama siter atau celepung.
Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan erat dengan perkembangan religi yang dianutnya.
Pada umumnya alat-alat musik yang terdapat dalam perangkat Gamelan terdiri dari:
1.Counter-Melody,adalahalat-alatmusikyangterdiriatas:
Gambang, adalahalat yangmenyerupai instrument metallophone, tetapibilah-bilahnyaterbuat dari kayu atau tembaga.
Suling, adalah alat musik tiup yang biasanya terbuat dari bambu. Dibedakan atas dua tipe: 1)suling dengan lima lubang (finger-holes) untuk laras Pelog; 2) suling dengan empat lubanguntuk laras slendro
Rebab, adalah alat musik gesek yang dapat menghasilkan suara cukup keras
Siter atau Celempung, adalah alat petik sejenis gitar tetapi memiliki senar yang lebih banyak.
2. Drum terdiri atas:
Bedug, adalah alat musik tabuh yang terbuat dari sepotong batang kayu besar yang telahdilubangi bagian tengahnya sehingga menyerupai tabung besar. Pada ujung batang yangberukuran besar ditutup dengan kulit binatang (biasanya kulit sapi, kerbau atau kambing).Bedug menimbulkan suara berat, rendah, tapi dapat didengar sampai jarak yang jauh.
Kendang, adalah alat musik tabuh menyerupai bedug tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil.Kendang biasanya dimainkan oleh pemain gamelan profesional. Kendang dapat dibagimenjadi empat berdasarkan ukuran dari yang terbesar sampai yangterkecil: KendangGending, Kendang Wayangan, Kendang Ciblon, dan Kendang Ketipung.
3. Gong, terdiridari:
Gong yang digantung. Dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu:
Gong Ageng, adalah gong terbesar dalam Gamelan Jawa dan dipercaya sebagairoh dalam Gamelan. Oleh karena itu, gong ini sangat dihormati. Biasanya GongAgeng ditempatkan di belakang Gamelan.
Kempul, adalah gong gantung yang memiliki ukuran lebih kecil dari Gong Ageng.
Gong yang diletakkan diatas tali yang direntangkan pada bingkai kayu (tempat yang terbuatdari kayu ini kadang disebut Rancakan). Dapat dibedakan dalam 4 (empat) jenis gong,yaitu:
1. Bonang,
adalah satu set gong yang terdiri dari sepuluh sampai empat belas gong-gong kecil dengan posisi horizontal yang
tersusun dalam dua deretan.
Ada duamacam Bonang, yaitu:
Bonang Barung, yaitu Bonang berukuran sedang, beroktaf tengah sampaitinggi
Bonang Panerus, yaitu Bonang berukuran kecil tetapi titinadanya lebih tinggisatu oktaf dibandingkan Bonang Barung.
2.Kenong, adalah gong terbesar yang diletakkan diatas tali yang direntangkan pada bingkaikayu. Dalam beberapa Gamelan, satu bingkai kayu dapat berisi 3 (tiga) Kenong
3.Ketuk dan Kempyang. Adalah gong-gong yang diletakkan di sebelah Kenong. Ketuk danKempyang selalu ditempatkan dalam sebuah kotak kayu.

4.Metallophones,
adalahalat-alat musikberbentukbilahan/lempenganyangterdiri darienamtautujuh bilah, ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator. Alat-alat musikini dapatdibedakan menjadi2 (dua)jenis, yaitu:
a. Saron, terdiri atas:
Saron Demung, yaitu alat musik dengan bilahan paling besar dalam keluarga Sarondan menghasilkan nada rendah. Titi nada Saron Demung lebih rendah satu oktaf dibanding Saron Barung. Saron Demung juga dapat dibedakan dalam 2 (dua) tipe:Demung Slendro dan Demung Pelog.
Saron Barung. Dibandingkan dengan Saron Demung & Saron Panerus, SaronBarung memiliki bilahan logam menengah (medium). Titi nadanya satu oktaf lebihrendah dari Saron Panerus dan satu oktaf lebih tinggi dari Saron Demung. SaronBarung juga dapat dibedakan dalam 2 (dua) tipe: Barung Slendro dan Barung Pelog.
Saron Panerus atau seringkali disebut dengan julukan Peking. Ini merupakankeluarga Saron yang paling kecil. Dibandingkan Saron Barung, Saron Panerusmemiliki titi nada lebih tinggi satu oktaf. Saron Barung juga dapat dibedakan dalam 2(dua) tipe: Panerus Slendro dan Panerus Pelog
b. Gender,adalahalatmusikyangterdiridaribilah-bilah metal yang ditegangkandengantali.
Gender dapat dibedakan menjadi:
Slentem, adalah alat musik dengan bilah metal dan resonator terbesar dalamkeluarga gender. Biasanya Slentem memiliki tujuh bilah dan memiliki titinada satuoktaf dibawah Saron Demung
Gender, terdiri atas:
Gender Barung. Gender Barung memiliki bilah metal dengan ukuran sedangdalam keluarga Gender. Gender Barung memiliki titi nada satu oktaf lebihrendah dari Gender Panerus.
Gender Panerus. Gender Panerus memiliki bilah-bilah yang paling kecildalam keluarga Gender. Gender Panerus memiliki titi nada satuoktaf lebihtinggi daripada Gender Barung
Masing-masing darialat-alat musik (perangkat) tersebut diatas memiliki fungsi-fungsi khusus yang saling mengisi dan melengkapi sehingga menciptakan harmonisasi antara satu sama lain. Setiap alat musik sudah memiliki pakem yang tertuang dalam phatet (pembatasan wilayah nada).

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gamelan_Jawa